Ulasan Buku — “Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan” oleh Ester Lianawati (2020)

“Masyarakatlah yang membentuk perempuan untuk menjadi ibu.” — Ann Oakley pada Becoming a Mother (1979)

Ovioctavia
4 min readApr 6, 2023
image source: goodreads.com

Perempuan yang baru menginjak usia 20an pasti sering ditanya kapan mereka akan menikah dan memiliki anak? Lalu, perempuan yang sudah menginjak umur 30an dan belum menikah akan dipandang kurang baik oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Mereka biasa dicap sebagai “perawan tua” atau tidak laku. Padahal, pernikahan sendiri merupakan hal yang biasa saja dan pernikahan merupakan pilihan hidup, bukan? Sama halnya seperti ingin kuliah atau tidak? Ingin makan bakso atau tidak? Dan ingin pergi atau tidak? Menikah bukanlah tujuan utama hidup seorang perempuan. Hidup perempuan lebih dari sekedar menikah dan menjadi seorang ibu.

Masyarakat kita sudah terlanjur melihat perempuan sebagai sosok “ibu” yang natural. Nyatanya, menjadi ibu bukanlah sesuatu yang alami, tetapi perempuan juga harus belajar supaya menjadi ibu yang baik. Lihatlah, para Ibu muda akan selalu berguru kepada Ibu mereka saat mengurus anak pertamanya. Intinya, menjadi ibu merupakan suatu proses belajar yang dikonstruksi oleh masyarakat. Serta pandangan absolut tentang perempuan pasti akan menikah dan menjadi ibu perlu dikritisi lagi.

Sebab, kondisi setiap perempuan sama sekali berbeda. Tidak semua perempuan memilih untuk menikah karena berbagai hal yang bisa jadi tidak dapat kita pahami. Tidak semua perempuan juga dapat melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Tidak semua perempuan siap dan ingin menjadi seorang ibu, dan sebagainya. Dalam kacamata masyarakat patriarki, perempuan yang memiliki pemikiran yang disebutkan di atas akan dipandang aneh dan kerap dimusuhi.

Tentu saja, bukannya saya tidak mendukung perempuan untuk menikah dan menjadi seorang ibu. Hanya saja, untuk menjadi perempuan dan mendefinisikan bagaimana perempuan itu tidak terbatas dari seseorang yang akan menikah, memiliki anak, dan mengurus urusan rumah tangga. Tetapi menjadi perempuan juga berarti mengenal diri sendiri, apa tujuan hidup sebenarnya, apa keterampilan dan passion yang dimiliki, apa kontribusi yang ingin dilakukan untuk masyarakat luas? Tanpa adanya campur tangan ideologi dari masyarakat patriarki.

Sama halnya dengan buku ini, saya memiliki satu visi dengan Ibu Ester, bahwasannya sebagai perempuan kita harus bisa mengenal diri sendiri dengan baik. Lalu, jika sudah mengenal diri sendiri dan tujuan hidup yang ada, maka kita akan menjadi perempuan yang kuat dalam menghadapi dunia yang kejam ini. Menjadi pribadi yang mandiri, berprinsip, dan bertanggungjawab entah memilih untuk menikah dan menjadi seorang Ibu atau menjadi perempuan dalam definisi lain.

Seperti yang kita ketahui, menjadi perempuan yang hidup di Indonesia memiliki tekanan dan ekspektasi yang diatur oleh budaya “patriarki”. Segudang peraturan untuk perempuan sudah diinternalisasi oleh orang tua sejak mereka masih usia belia seperti, “Jadi perempuan itu harus cantik”, “jadi perempuan itu harus ramah”, “jadi perempuan itu jangan galak-galak”, “jadi perempuan itu jangan terlalu pintar, nanti susah dapat jodohnya”, “perempuan sudah harus menikah sebelum umur 30 tahun”, dan sebagainya. Pernyataan yang digaungkan terus menerus seperti yang disebutkan sebelumnya, kerap membuat perempuan memiliki perhatian khusus untuk selalu merawat diri, berpakaian bagus, dan berdandan dengan tujuan menarik perhatian kaum adam. Fenomena ini sungguh miris. Sebaliknya, anak laki-laki tidak pernah diajarkan oleh masyarakat untuk bersolek, merawat diri, dan diingatkan untuk menikah sedari dini.

Menurut saya, buku ini sangat bagus untuk mengajak pembaca menyadari bahwa definisi menjadi perempuan tidaklah terbatas. Untuk pembaca perempuan khususnya, kita akan diajak untuk mengkritisi, refleksi, dan bertanya kembali kepada diri sendiri, “Apakah pandanganku tentang perempuan masih sama seperti pandangan masyarakat patriarki yang rigid?”, “Sudahkah diri ini menemukan tujuan ‘sejati’ hidup sebagai seorang manusia?”, dan sebagainya.

Hal yang menarik dari buku ini adalah judul Sub-bab yang sangat menarik perhatian dan isinya juga sesuai dengan apa yang dituliskan dalam judul tersebut. Salah satu Sub-bab favorit saya adalah “Perempuan — Perempuan Penyihir”. Selanjutnya, karena sang penulis merupakan seorang psikolog, beliau dapat menjelaskan fenomena psikologis yang dihadapi perempuan di masyarakat patriarki. Sebab, para perempuan kerap mendapatkan perlakuan tidak adil dan menghadapi tekanan dari para pendukung budaya patriarki. Beliau juga memberikan pengetahuan serta dorongan kepada para pembaca untuk memberantas budaya patriarki menggunakan psikologi feminis. Perubahan apapun dimulai dari perorangan atau individu akan sangat berarti. Jadi, psikologis dari tiap orang yang memegang nilai-nilai feminis, sedikit demi sedikit akan mengubah tatanan masyarakat yang lebih ramah terhadap berbagai jenis perempuan.

Kekurangan yang saya dapati yaitu pada bab-bab awal, buku ini terasa agak sedikit membosankan karena Ibu Ester menyajikan banyak teori psikologi. Bahasa yang disajikan juga agak sedikit sulit untuk dipahami dalam satu kali baca. Tetapi di luar itu semua, saya rasa buku ini sangat apik. Akhir kata, buku ini merupakan bacaan wajib bagi para perempuan yang ingin terlepas dari diktean masyarakat patriarki. Seperti yang disampaikan Ibu Ester pada pembukaan di buku ini bahwa:

“Menyelidiki diri sangat penting bagi perempuan untuk benar-benar meyakini bahwa apa yang ia inginkan adalah benar keinginannya, bukan bagian dari pendiktean masyarakat.”

--

--

Ovioctavia

A lifelong learner. I enjoy sharing my thoughts about books, movies, social and cultural issues.