Kisah Yang Menumpas Kolonialisme — “Multatuli” (2014) oleh Max Havelaar

Ovioctavia
4 min readApr 7, 2023

“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” — John Kennedy

image source: goodreads.com

Saya yakin para pecinta sastra Indonesia yang khususnya menaruh minat kepada sejarah Indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan buku “Multatuli” karya Max Havelaar alias Bapak Eduard Douwes Dekker. Beliau merupakan seorang Belanda yang menuliskan novel ini atas keprihatiannya melihat ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Hindia-Belanda pada masa pemerintahan VOC. Mereka dilanda kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan dari sistem tanam paksa.

Penjajah Pribumi

Novel ini berangkat dari fenomena bahwasannya pada saat Bapak Douwes Dekker menjabat sebagai perwakilan rakyat Hindia-Belanda, beliau menyaksikan orang pribumi Hindia-Belanda tidak hanya dijajah oleh para penjajah asing dari Belanda, tetapi juga pejabat pemerintahan dari golongan pribumi yang memanfaatkan kedudukannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tak hanya itu, para pejabat ini menikmati fasilitas seperti rumah yang disediakan pemerintah, sepitak tanah yang dapat diolah untuk pertanian pribadi, dan sebagainya dengan mempekerjakan pribumi lain tanpa adanya imbalan.

Menjadi seorang pemimpin atau pejabat pemerintah, berarti juga menanggung beban, tanggung jawab, dan amanah yang besar untuk mewujudkan kepentingan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya, para pejabat pemerintah pribumi maupun non-pribumi malah menjadi perampok dan agen kejahatan yang melestarikan penjajahan kepada bangsanya sendiri. Tak sedikit, para pejabat sering memanipulasi data pendapatan pertanian yang ada di buku besar dan tidak menjalankan tugasnya baik sebagai Asisten pemerintah. Sebaliknya, mereka memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi di atas penderitaan orang lain.

Pemimpin yang Bijak

Tokoh utama yang dituliskan oleh Douwes Dekker merupakan seorang makelar kopi Belanda yang bertemu dengan teman lamanya di negara kincir angin tersebut. Kabarnya, teman lamanya ini pernah menjabat sebagai Asisten di salah satu Kabupaten negara jajahan Belanda, yaitu Hindia-Belanda. Menurut kabar yang beredar, orang-orang yang pernah menjadi pejabat di Hindia-Belanda dan balik ke Belanda akan menjadi sangat kaya. Tetapi sebaliknya, teman lamanya ini malah hidup dalam kemiskinan. Keadaan ini berbanding terbalik dari kabar yang beredar. Apa yang terjadi kepadanya di sana?

Pada akhirnya, makelar kopi tersebut mengetahui alasan kenapa teman lamanya ini bisa jatuh miskin meskipun ia pernah menjadi pejabat di Hindia-Belanda. Ia mengetahui cerita spesifiknya melalui buku yang ia tulis dan ia serahkan sebelum berpisah dengannya setelah pertemuan terakhir mereka. Cerita yang diceritakan oleh teman lama makelar kopi merupakan kejadian nyata yang disaksikan oleh Bapak Douwes Dekker di pemerintahan Hindia-Belanda saat Belanda masih berkuasa.

Karakteristik tokoh Asisten Lebak yang digambarkan oleh Bapak Douwes Dekker merupakan seseorang yang memiliki hati nurani sebagai manusia yang baik. Di saat ia melihat ketidakadilan terjadi pada masyarakat Hindia-Belanda dan ia mendapatkan kekuasaan sebagai pemimpin, maka sebaik mungkin ia berusaha untuk melawan ketidakadilan yang ada. Banyak sekali upaya-upaya yang menggambarkan bahwa ia berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik dan adil bagi masyarakatnya. Contohnya yaitu, ia tidak memanggil orang-orang pribumi untuk mengerjakan ladangnya secara gratis seperti Asisten di Kabupaten lain, ia juga tidak merampas hasil panen petani pribumi, dan saat ia menemukan keganjilan di buku besar pada Asisten terdahulu, ia berusaha untuk melaporkannya kepada atasannya. Tetapi usaha-usahanya tak berbuah manis, malah ia dipecat dan keluarganya hidup dalam keprihatinan. Sebab, memang pada dasarnya, upah seorang Asisten Kabupaten tidak dapat memfasilitasinya untuk hidup dalam kemewahan.

Terlepas dari usahanya untuk menegakkan keadilan yang membawa keluarganya hidup dalam kesengsaraan secara ekonomi, mantan Asisten Lebak ini tidak menyesal sama sekali. Sebab, sebagai manusia yang memiliki hati nurani, ia sudah berhasil mencoba membantu menegakkan keadilan kepada manusia yang tertindas semaksimal mungkin. Sekecil apapun perjuangannya di mata orang lain, tidak menutup kemungkinan bahwa ia merupakan pelopor perjuangan keadilan bagi rakyat Hindia-Belanda.

Asisten Kabupaten Merupakan Raja Kecil

Seperti yang kita ketahui, gaji orang yang bekerja di pemerintahan biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mustahil bagi mereka untuk hidup mewah bak raja. Kecuali, jika mereka memiliki profesi sampingan seperti menjadi pedagang atau pebisnis. Tetapi, pada kenyataannya, banyak Asisten-asisten di Hindia-Belanda yang tak memiliki profesi lain, hidup dalam bergelimang harta. Mereka adalah Asisten yang masih menerapkan sistem feudalisme di Kabupatennya. Dengan kata lain, Kabupaten yang dipercayakan oleh mereka telah dijadikan sebagai kerajaan kecil dan masyarakat yang ada merupakan tenaga kerja gratis bak pengabdi yang setiap saat siap untuk melakukan pekerjaan yang diminta secara cuma-cuma.

Bahkan pelayan istana pada zaman feudalisme masih mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukannya. Tetapi, parahnya pada zaman ini, para Asisten gadungan tersebut menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Di sisi lain, orang-orang pribumi sudah lama familiar dengan sistem feudalisme sebelum masa pemerintahan berlangsung. Jadi, masih ada mental-mental feudalisme yang tersisa pada diri mereka seperti rasa inferior dan segan kepada pemimpin. Bahkan rela memberikan apa yang berharga sekalipun kepada pemimpinnya. Tetapi pada intinya, kejadian penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan rakyat tetap merupakan salah para pemimpin yang menutup mata pada ketidakadilan dan justru melestarikannya.

Overall Impression

Novel ini merupakan definisi bahwa “jika politik bengkok, sastra akan meluruskanya” seperti kata Bapak Kennedy. Di saat Bapak Eduard Douwes Dekker melihat dengan mata kepalanya sendiri ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Hindia-Belanda dan rasa kemanusiaannya membuncah untuk mengungkap kebenaran, beliau menuangkannya dalam karya sastra. Mungkin teman-teman sudah familiar bahwa pemilik sejarah merupakan orang-orang yang berkuasa, karena mereka yang mengontrol apa yang ingin dituliskan dan membuang apa yang tak ingin diketahui orang-orang di masa depan dalam karya sastra canon.

Menurut saya, novel ini ditulis dengan sangat baik dari alurnya, pemilihan tokohnya, dan cara penggambaran kejadian yang terjadi di Hindia-Belanda dapat dibayangkan dengan jelas dalam benak saya. Tetapi, karena saya membaca buku ini dalam versi bahasa Indonesia, jujur saja kata-katanya masih kurang luwes untuk dipahami. Maklumlah, mungkin karena versi terjemahan ya. Tetapi, di luar sedikit kekurangannya, saya setuju dengan Bapak Pram bahwa buku ini menyajikan “kisah yang membunuh kolonialisme.”

Kata-kata bijak yang menyindir para Asisten pemerintahan yang malas merupakan salah satu fovorit saya, bunyinya yaitu:

“Di Jawa, burung dara tidak akan terbang ke mulut seseorang dalam keadaan sudah terpanggang. Harus ada kerja, dan siapapun yang tidak mau bekerja akan miskin, dan dengan sendirinya akan tetap miskin.”
― Multatuli, Max Havelaar, or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company

--

--

Ovioctavia

A lifelong learner. I enjoy sharing my thoughts about books, movies, social and cultural issues.