A FEMINIST MANIFESTO: Kita Semua Harus Menjadi Feminis Oleh Chimamanda Ngozi Adichie (2019)

Ovioctavia
4 min readAug 6, 2021

--

Narasi tentang feminisme memang nyatanya sangat digembor — gemborkan oleh generasi milenial beberapa tahun belakangan ini. Banyak orang yang belum paham tentang arti menjadi feminis. Sebenarnya apa sih feminis itu? Bagaimana seseorang bisa dikatakan ‘feminis’? Lalu apakah semua feminis itu radikal?

Dari buku yang ditulis oleh Chimamanda ini, kita bisa belajar makna feminis secara sederhana. Lengkap dengan 15 anjuran bagaimana melahirkan generasi feminis.

image source: lavinyadergisi.com

Istilah ‘feminis’ memang menjadi sangat populer belakangan ini, hampir semua influencer, pelajar, dan tokoh papan atas sedang melakukan upaya untuk menggaungkan ide — ide feminisme.

Tak memungkiri juga, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal akan patriarkinya yang sangat kuat dan mendarah daging. Maka dari itu, generasi saat ini mulai menyebarkan ide — ide yang bisa membawa perubahan pada kaum perempuan. Salah satu ide yang paling terkenal yaitu, gerakan feminisme.

Lalu dari mana asal muasal gerakan feminisme ini? Seperti yang kita tahu, kebanyakan ide — ide mainstream yang diyakini masyarakat saat ini datangnya dari negara — negara Barat. Ya, gerakan feminisme mulai muncul pada akhir abad ke-18 di Inggris dan mulai berkembang dengan pesat sampai abad ke-20 hingga ke seluruh penjuru dunia.

Salah satu tokoh feminis terkenal yang mengawali pergerakan feminisme yaitu Marry Wolstonecraft. Beliau menulis esai yang berjudul “A Vindication of The Rights of Woman” untuk menyampaikan kritiknya terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki — laki namun tidak untuk perempuan.

Setelah esai beliau dicetak, mulai banyak penulis — penulis dan aktivis — aktivis lain yang akhirnya berani untuk menyampaikan suaranya dan berjuang untuk hak perempuan di berbagai bidang: sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dsb.

Sebenarnya jika kita membicarakan tentang feminisme, jujur ide ini sangat luas. Sebab, nilai feminisme di setiap wilayah akan berbeda — beda. Ini balik lagi tergantung di mana kita tinggal, ketidakadilan apa yang dialami perempuan di wilayah itu, dan solusi apa yang bisa diperjuangkan supaya perempuan bisa mendapatkan haknya sebagai manusia. Semoga kita bisa berbincang tentang feminisme lagi di lain kesempatan ya!

Kembali pada buku Feminist Manifesto karya Chimamanda, aku rasa buku ini sangat pas untuk menjadi bacaan bagi kalian yang masih bingung tentang konsep feminis. Jadi, apa itu feminis? Menurut Chimamanda, “feminis: seseorang yang percaya pada kesetaraan sosial, politik, dan ekonomi untuk kedua jenis kelamin” (hal. 27). Wah ternyata itu toh sederhananya arti kata feminis.

Selanjutnya, lewat buku ini aku bisa menemukan kasus — kasus dalam kehidupan sehari — hari yang sangat dekat dengan pengalamanku sebagai perempuan di Indonesia. Dan akhirnya aku sadar ternyata ketidakadilan perempuan bisa ditemukan pada hal — hal yang remeh.

Pada bab awal, Chimamanda menceritakan pengalaman hidupnya sebagai perempuan di Afrika. Masyarakat di sana juga terkenal akan patriarkinya sama seperti di Indonesia, maka saat membaca bab ini aku merasa sangat paham akan perasaannya. Beliau menceritakan bahwa orang tuanya sudah memberikannya pengertian sedari kecil supaya “jangan terlalu berambisi, nanti tidak ada laki — laki yang mau denganmu”, warna merah muda itu milik perempuan dan warna biru itu milik laki — laki, perempuan wajib bisa masak sedangkan anak laki — laki tidak, dan profesi memiliki gender (arsitek: laki — laki, suster: perempuan).

Nilai dan budaya yang sedari kecil dijejalkan kepada generasi muda bisa membentuk pribadi mereka di masa depan. Kemungkinan besarnya kita merasa bahwa nilai dan budaya yang diwariskan oleh orang tua itu lumrah dan normal. Sama halnya dengan pernyataan ini:

“Jika kita melakukan sesuatu berulang — ulang kali, sesuatu itu akan menjadi normal. Jika kita melihat hal yang sama berulang kali, ia juga akan menjadi normal” (hal. 5).

Padahal, budaya dan nilai yang tersebar dalam masyarakat merupakan sesuatu yang ‘dibentuk’ bukan sesuatu yang tiba — tiba ada begitu saja. Seperti yang Chimamanda tulis, “budaya tidak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya” (hal. 27). Jadi, jika manusia yang membentuk budaya, maka manusia juga bisa mengubah dan membentuk budaya yang lebih baik dan adil juga, kan? Itulah yang diperjuangkan para feminis, kawan.

Lanjut pada bab kedua, Chimamanda menuliskan 15 anjuran yang dapat kita lakukan untuk mencetak generasi feminis. Menurutku, anjuran — anjuran yang beliau ajukan sangat brilian dan jujur sepertinya aku juga bisa mencoba beberapa anjuran darinya. Nothing to lose, right?

Inti dari semua anjuran tersebut yaitu, Chimamanda menegaskan bahwa ‘peran gender’ itu omong kosong. Kita semua harus melihat dan memperlakukan orang lain sebagai ‘manusia’ secara adil.

Secara keseluruhan, aku sangat puas membaca buku ini. Akhirnya aku bisa lebih paham arti kata feminis dan contoh konkrit yang ada di sekitarku. Dengan begitu, aku juga bisa membela diri sendiri dan perempuan lain disekitarku jika sedang mengalami ketidakadilan.

Hidup feminis!

--

--

Ovioctavia
Ovioctavia

Written by Ovioctavia

A lifelong learner. I enjoy sharing my thoughts about books, movies, social and cultural issues. Sometimes, I also write poems!

No responses yet